Senin, 14 Juli 2014

Gaza

Gaza
Puisi Tuhan
yang menyembunyikan kasihNya
pada gerimis bermata nuklir

Gaza
Puisi Tuhan
Isyarat syurga
pada darah syuhada

Gaza
Puisi Tuhan
teka-teki bumi
namun arahnya pasti

Gaza
Puisi Tuhan
Do'a dan purnama
gemetar

Gaza
Puisi Tuhan
Al-Aqsa
Palestina

Di sana Tuhan adanya ..

Gaza
Palestina
Do'a Kami Bersamamu

Jangan Panggil Aku, Penyair

Aku tak pandai membuahi kata-kata
lantas jadi puisi
maka jangan panggil Aku
Penyair

kalaupun suatu waktu
keluar dari mulutku kata-kata
yang menggetarkan langit
atau serupa bianglala
yang sering kau sebut titian bianglala
tetap saja, jangan panggil Aku
Penyair

anggap saja itu basa-basi
atau interupsi kegaduhan sunyi
atau juga melodi mimpi
yang tak di terjemahkan sepi

aku bahkan tak kenal Pabo Neruda, Gabo, Gibran
Rumi, M. Iqbal, atau Sapardi, Zawawi, Taufik Ismail,
Rendra ataupun Yapi Tambayong yg entah bagaimana berganti nama Remy Sylado.

yang Aku kenal hnya Mang Bahro, kata-kata tulen filsafat sunda, b
ahkan mungkin kini bahasa yg di ucapnya tlah lenyap dari kamus dunia.
juga Ma Okon, penakluk 4 sapi di kampungku, yg paling mahir memainkan peran antagonis ataupun protagonis

Jangan panggil Aku, penyair
kata-kata ku tak pernah singgah di majalah
apalai koran ternama
hanya menjadi bahan bakar sepi
dan suluh ketika sunyi mengutuk diriku sendiri

to be continued ..

eN-N-endonesia

"jika pemerintah kotor, maka puisi yang membersihkannya" kata seorang tokoh

puisi itu bukan dusta
sekalipun dia berdusta

kini
namamu berganti, eN
entah kenapa, aku tak pandai mencari

yang aku tau kini banteng dan garuda merias muka
dengan slogan dan epidemi janji.
menebar senyum dan membaca mantra
agar kita lupa episode yang pernah di kecam dunia.
membius kita dengan metode door to door
yang di temukannya ..

namamu berganti, eN
Aku tak ngerti
yang aku pahami
Reformasi lahir dari persetubuhan orla dan orba yang saling melaknat
bukan dari idealisme dan nurani.
tapi ....... kau mungkin paham
kerana kau tlah berganti nama.

hujan kemarin sore
masih sisakan badai dalam otakku yang terkulai letih
bercengkrama dengan malam
yang menghadirkan kegelisahan di samping jiwa
yang porakporanda kerana nasib dan keinginan tuk bangkit.

eN, di sini tak ada lagi kesetiaan
yang ada hnya pengkhianatan dan kutukan
yang di ulang-ulang dari rezim ke rezim

eN, puisi kita tak bermakna jiwa hanya bersemayam dalam dada
dan revolusi dengan puisi, harus terjadi .

(bersambung)