penyair, pulanglah
menuju puisi
bukan kata-kata ilusi
pulanglah, sebab di sana ada nasi padang yang berasnya sebenarnya
dibeli dari warung sembako di pasar sederhana, dan dimasak dengan
mejikom merk miyako.
sebab karena saat kau lapar, nasi yang seperti bubur karena terlalu banyak kuah dari sayur yang entah apa namanya lebih terasa nikmat dari sajian kentang goreng dengan saus pedas di kopital yang kini berubah nama jadi kopidome kalau tak salah tulis.
menepilah, pada puisi
wahai para penyair yang seringkali menjala ikan kata-kata di samudra realitas.
menepilah, pada puisi
sebab di sana pula ada segelas teh hangat yang disajikan seorang lelaki dengan telinga tersumbat earphone padahal jelas terdengar keras lagu yang terdengar dari speaker yang tergantung di sudut kiri ruangan yang entah apa namanya, memutar lagu Ari lasso "mengejar matahari" padahal ini sudah malam.
hujan sepertinya membuat speaker mengigau, dan meracau tak karuan seperti aku yang mengetik bukan menulis.
penyair, pulanglah
ke rumah puisi
rumah paling abadi
di sana ada rindu yang diulang-ulang namun tetap seperti baru, ada cinta yang diagung-agungkan seperti berhala, dan ada nama perempuan yang berpuluh-puluh kali namanya disetubuhi suara-suara dari kata yang ditulis dan diucap oleh mulut mereka yang sedang kasmaran atau patah hati.
kasmaran atau patah hati, sama-sama menyuruhmu harus mereguk beberapa drum kopi, atau teh, atau vodka, atau mansion, atau arak, atau juga red wine, atau juga nama lain dari air jernih yang berubah warna sebab suatu hal yang jarang sekali diketahui.
penyair, pulanglah
setelah seharian kau berakting menjadi siapapun, menjadi apapun, menjadi sesuatu yang ditanyakan.
pulanglah, sebab debat pilkada di pinggiran jalan atau pun di hotel berbintang sembilan sama-sama memuakkan, sebab kau harus tau bahwa isu-isu yang berkembang di pusat kota adalah bikinan agen CIA yang kadang menyamar jadi tukang tahu bulat mungkin, jadi driver gojek mungkin, atau juga jadi aktivis mahasiswa yang populer di media sosial dan kaum sosialita.
pulanglah, tulislah sebuah puisi
lalu bakarlah sebelum orang menyebut itu puisi.
adakah jalan terjal selain kerinduan dan kekuasaan?
sebab hutan-hutan berganti nama menjadi kebun, dan sungai kini telah menjadi tempat sampah paling murah, orang-orang mulai asyik membuat jargon, juga bermain angka, bermain sangka, bermain kira, berpura-pura.
penyair, pulanglah
sebab hujan lebih mengingatkan pada puisi sapardi dibanding ancaman banjir dan longsor.
sebab aku sudah selesai makan
dan harus pulang ke kost an, ruang kecil 2x3 namun sejak 6 tahun terakhir menjadi tempat paling nyaman sebelum syurga mampu aku bayangkan, setidaknya saat aku di perantauan.
aku
dan engkau penyair
mari kita pulang
membicarakan hal yang absurd di alam mimpi.
dan seandainya mimpi bisa direkayasa,
tentulah aku atau pun engkau
tak akan pernah ingin bangun.
rumahmakanpadang , 300317
#noeralfarizi
sebab karena saat kau lapar, nasi yang seperti bubur karena terlalu banyak kuah dari sayur yang entah apa namanya lebih terasa nikmat dari sajian kentang goreng dengan saus pedas di kopital yang kini berubah nama jadi kopidome kalau tak salah tulis.
menepilah, pada puisi
wahai para penyair yang seringkali menjala ikan kata-kata di samudra realitas.
menepilah, pada puisi
sebab di sana pula ada segelas teh hangat yang disajikan seorang lelaki dengan telinga tersumbat earphone padahal jelas terdengar keras lagu yang terdengar dari speaker yang tergantung di sudut kiri ruangan yang entah apa namanya, memutar lagu Ari lasso "mengejar matahari" padahal ini sudah malam.
hujan sepertinya membuat speaker mengigau, dan meracau tak karuan seperti aku yang mengetik bukan menulis.
penyair, pulanglah
ke rumah puisi
rumah paling abadi
di sana ada rindu yang diulang-ulang namun tetap seperti baru, ada cinta yang diagung-agungkan seperti berhala, dan ada nama perempuan yang berpuluh-puluh kali namanya disetubuhi suara-suara dari kata yang ditulis dan diucap oleh mulut mereka yang sedang kasmaran atau patah hati.
kasmaran atau patah hati, sama-sama menyuruhmu harus mereguk beberapa drum kopi, atau teh, atau vodka, atau mansion, atau arak, atau juga red wine, atau juga nama lain dari air jernih yang berubah warna sebab suatu hal yang jarang sekali diketahui.
penyair, pulanglah
setelah seharian kau berakting menjadi siapapun, menjadi apapun, menjadi sesuatu yang ditanyakan.
pulanglah, sebab debat pilkada di pinggiran jalan atau pun di hotel berbintang sembilan sama-sama memuakkan, sebab kau harus tau bahwa isu-isu yang berkembang di pusat kota adalah bikinan agen CIA yang kadang menyamar jadi tukang tahu bulat mungkin, jadi driver gojek mungkin, atau juga jadi aktivis mahasiswa yang populer di media sosial dan kaum sosialita.
pulanglah, tulislah sebuah puisi
lalu bakarlah sebelum orang menyebut itu puisi.
adakah jalan terjal selain kerinduan dan kekuasaan?
sebab hutan-hutan berganti nama menjadi kebun, dan sungai kini telah menjadi tempat sampah paling murah, orang-orang mulai asyik membuat jargon, juga bermain angka, bermain sangka, bermain kira, berpura-pura.
penyair, pulanglah
sebab hujan lebih mengingatkan pada puisi sapardi dibanding ancaman banjir dan longsor.
sebab aku sudah selesai makan
dan harus pulang ke kost an, ruang kecil 2x3 namun sejak 6 tahun terakhir menjadi tempat paling nyaman sebelum syurga mampu aku bayangkan, setidaknya saat aku di perantauan.
aku
dan engkau penyair
mari kita pulang
membicarakan hal yang absurd di alam mimpi.
dan seandainya mimpi bisa direkayasa,
tentulah aku atau pun engkau
tak akan pernah ingin bangun.
rumahmakanpadang , 300317
#noeralfarizi