Sabtu, 29 April 2017

SAAT KAU LAPAR


penyair, pulanglah
menuju puisi
bukan kata-kata ilusi

pulanglah, sebab di sana ada nasi padang yang berasnya sebenarnya dibeli dari warung sembako di pasar sederhana, dan dimasak dengan mejikom merk miyako.
sebab karena saat kau lapar, nasi yang seperti bubur karena terlalu banyak kuah dari sayur yang entah apa namanya lebih terasa nikmat dari sajian kentang goreng dengan saus pedas di kopital yang kini berubah nama jadi kopidome kalau tak salah tulis.

menepilah, pada puisi
wahai para penyair yang seringkali menjala ikan kata-kata di samudra realitas.
menepilah, pada puisi
sebab di sana pula ada segelas teh hangat yang disajikan seorang lelaki dengan telinga tersumbat earphone padahal jelas terdengar keras lagu yang terdengar dari speaker yang tergantung di sudut kiri ruangan yang entah apa namanya, memutar lagu Ari lasso "mengejar matahari" padahal ini sudah malam.
hujan sepertinya membuat speaker mengigau, dan meracau tak karuan seperti aku yang mengetik bukan menulis.

penyair, pulanglah
ke rumah puisi
rumah paling abadi

di sana ada rindu yang diulang-ulang namun tetap seperti baru, ada cinta yang diagung-agungkan seperti berhala, dan ada nama perempuan yang berpuluh-puluh kali namanya disetubuhi suara-suara dari kata yang ditulis dan diucap oleh mulut mereka yang sedang kasmaran atau patah hati.
kasmaran atau patah hati, sama-sama menyuruhmu harus mereguk beberapa drum kopi, atau teh, atau vodka, atau mansion, atau arak, atau juga red wine, atau juga nama lain dari air jernih yang berubah warna sebab suatu hal yang jarang sekali diketahui.

penyair, pulanglah
setelah seharian kau berakting menjadi siapapun, menjadi apapun, menjadi sesuatu yang ditanyakan.
pulanglah, sebab debat pilkada di pinggiran jalan atau pun di hotel berbintang sembilan sama-sama memuakkan, sebab kau harus tau bahwa isu-isu yang berkembang di pusat kota adalah bikinan agen CIA yang kadang menyamar jadi tukang tahu bulat mungkin, jadi driver gojek mungkin, atau juga jadi aktivis mahasiswa yang populer di media sosial dan kaum sosialita.

pulanglah, tulislah sebuah puisi
lalu bakarlah sebelum orang menyebut itu puisi.

adakah jalan terjal selain kerinduan dan kekuasaan?
sebab hutan-hutan berganti nama menjadi kebun, dan sungai kini telah menjadi tempat sampah paling murah, orang-orang mulai asyik membuat jargon, juga bermain angka, bermain sangka, bermain kira, berpura-pura.

penyair, pulanglah
sebab hujan lebih mengingatkan pada puisi sapardi dibanding ancaman banjir dan longsor.

sebab aku sudah selesai makan
dan harus pulang ke kost an, ruang kecil 2x3 namun sejak 6 tahun terakhir menjadi tempat paling nyaman sebelum syurga mampu aku bayangkan, setidaknya saat aku di perantauan.

aku
dan engkau penyair
mari kita pulang
membicarakan hal yang absurd di alam mimpi.

dan seandainya mimpi bisa direkayasa,
tentulah aku atau pun engkau
tak akan pernah ingin bangun.

rumahmakanpadang , 300317
#noeralfarizi

INI SEPERTI ADEGAN DALAM FILM


seorang lelaki berjalan menuju cahaya terang benderang di dekat pancuran, tanpa melupakan kegelapan, perlahan ia hisap kretek yang dijepit di antara jemari tangan kanannya.
ia berjalan sambil tersenyum setelah memaafkan segala yang terjadi, setelah merelakan beberapa luka dilukis di telapak hati.
ia bercerita pada dirinya sendiri tentang dirinya sendiri, bagaimana ia tertawa saat menemukan dirinya seolah menang padahal kalah, seolah punya padahal hanya. Saat ia memaafkan dirinya sendiri dan segala yang pernah dan akan terjadi.
sambil menenteng secangkir kopi ia berjalan menuju tepi trotoar, ia duduk di bawah pohon di tengah trotoar gasibu, mencoba menerjemahkan bahasa waktu.
tak ada rindu malam ini
langit yang biru pucat kehitam-hitaman, dan satu bintang yang lebih terang dari sorot lampu depan angkot caheum-ciroyom.
seorang lelaki, duduk
angin berhembus dari arah barat, menggoyangkan pikiran yang seperti tanpa ingatan masa depan.
"setiap kejadian, merupakan sebuah jalan, entah itu jalan pembuka kebahagiaan perasaan, atau kebisingan pikiran", ia mulai meracau
dihisapnya sebatang rokok dengan begitu tenang, ia dengar raung kendaraan seperti kemasukan setan.
ia mendengar suara, menyebut kehidupan sambil melupakan kematian.
ia mendengar suara, berbisik "diam yang menghidupkan kematian"
aku tak mengerti, apalagi ia
trotoarjalan, 200417 #meracau
#Noer Listanto Alfarizi

Rabu, 28 Oktober 2015

sepi dan puisi

aku dan sepi
bercengkrama lewat puisi

biarlah
karena tak ada duka yang pantas kita libatkan
sekalipun luka menjelma purnama,
nyaris merobek retina


malam dan milyaran kutukan
aku tak peduli
langit jumpalitan, do'a-do'a bersila
dalam lingkaran

dan kita
menyetubuhi sepi berulang kali
lalu mati
menjadi puisi

Bandung, 28 Okt 2014

malam suatu ketika

Aku pernah sesat
pada malam

di mana Aku mencarimu pada remang lampu jalanan
bukankah itu tempat favoritmu?

malam pernah sesat
mencariku

Aku tak pernah ada
hanya mengembara di dunia fana

terjaga
dalam istirah rindu jiwa

di matamu

CCL, tengahmalam 02:42 2015

Sepucuk Surat Senyap dari Trotoar

Aku ingin menulis surat di dada malam yang terbelah
Karena asa nyaris lebur di badan jalanan,

Sepucuk Surat Senyap dari Trotoar Jalan

Kita harus menanam luka
Pada setiap gerimis
Pada setiap fajar
Pada setiap langkah yang terjerembab
Dan harapan yang dijegal dengan serentak

Kita harus benar-benar menanam duka
Biarkan saja airmata itu berguguran
Biarkan langit menyunting kegetiran
Biarkan malam-malam menjadi candu dari segala candu dari segala yang bertalian dengan luka yang membiru

Kita pun tau harga jeritan itu relatif lebih murah daripada desahan

Menjeritlah, dalam bisikmu yang paling sesak.
Agar segala rasa yang tertahan menjadi do'a yang didengar oleh jagat kehidupan.

Biarkan orang-orang menertawakanmu sampai dia mati karena kehabisan cakap untuk memaki,
Biarkan orang-orang tak melempar tanya ataupun senyum padamu
Biarkan
Biarkan mereka memburu seribu tepuk tangan dewa dan sentuhan dari para pemuja syurga

Diamlah, ada janji langit yang mesti kau percaya
Janji yang tak ada sangsi

Sambutlah segala badai, segala topan, segala yang menyakitkan.
Karena tak ada bintang kalau tak ada gelap malam
Karena rembulan paling indah hanya ada dikegelapan

Jangan biarkan dirimu lenyap dlm kegaduhan
Dalam pengharapan
Dalam angan-angan yang tak punya pegangan

Sekarang mari kita bicara kesederhanaan

Kita lupakan semua
Untuk mengingat semua
Menitip lupa pada jurang-jurang paling nyaman.

Mari kita baca lagi Basmalah dengan segenap pasrah
Kita nikmati apa yang tersaji yang telah menjadi milik kita sendiri
Kita beri apa yang kita miliki

Kita redam segala prasangka
Segala iri dengki
Segala yang hanya bisa membunuh hati

Mari kita ingat Petani, nelayan, tukang becak, sopir, anak-anak yang bermain kelereng,
Mereka adalah salah satu guru kesederhanaan,

Kau harus tau, bahwa tak ada bahagia tanpa kesederhanaan.
Kau harus tau, cinta tanpa do'a adalah derita

Berdo'alah
Agar keajaiban terjadi berulang kali
Agar kegelisahan tak menjadi duri, melainkan menjadi puisi.

Bandung, 010215 20:18

Sabtu, 03 Januari 2015

DI KAKI CEMARA

Barangkali aku harus mengutus cemara/untuk meminangmu wahai khatulistiwa//
Sejak puisi yang ku sajikan tak pernah kau perhitungkan/atau hanya sekedar kau ambil titimangsa yang berjalan serupa mega-mega//

Aku harus terbenam/menyemai istirah panjang//
Agar rembulan bisa angkuh dengan segala kerendahan hatinya/dan bintang saling mereguk kecup yang jajakan bidadari karbitan//

Aku ikhlaskan subuh bersetubuh dengan fajar/agar lahir do'a-do'a yang persuakan senyummu di barisan embun pada raut dedaunan//

Aku harus mengutus cemara/untuk meminangmu wahai permata jiwa//
Sebab puisi yang ku sajikan/hanya membuatmu menjadi yang tak semestinya//

Akan ku utus do'a/agar Tuhan tak menyesal/karena rindu telah mengental//

Cikajang, 030115 16:55

Dalam Sajak

bukan/aku tak pernah hidup di jiwamu/yang licin penuh bulu//
aku jelmaan sajak merah/tak lagi biru/sebab laut kehilangan asin//
biru serupa luka/jangan bicara rindu/sebab senja rela berkorban demi jembatan malam//
cinta/menusukmu lewat cerita/puisi juga prosa//
cadas berguguran/sisa anggun keemasan/langit ke tujuh runtuh//

Tuhan/Aku berserah//

rindumu/adalah rusuk//
aku tak punya rusuk/hanya titipan//
rindu membungkus hidupku/do'a//

di ruang kosong/tubuhku lengkap//
selengkap rindumu/yang hanya persuakan air mata dan isak/saling mendekap//
di ruang kosong/jiwaku menyala//
menyebut namamu/mati/hidup kembali//

Hanya do'a/yang ku tanam di halaman gerimis malam//
berharap surya/mengetuk jendela/membawa secangkir cinta/dan seguguran rindu jiwa/.
dalam sajak//